Minggu, 07 Juni 2015

Mencintai Sunnah Nabi

Rasulullah shollallaahu 'alayhi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, dia bukanlah termasuk golonganku.” (HR. Bukhori dan Muslim).
  Demikian ancaman Rasulullah kepada ummatnya. Saudaraku, sunnah disini bukanlah seperti hukum fikih yang merupakan lawan dari Makruh. Akan tetapi, yang dimaksud Sunnah Nabi Muhammad adalah segala sesuatu yang bersumber dari beliau, baik itu ucapan, perbuatan, atau ketetapan beliau.

  Banyak sekali sunnah-sunnah Nabi Muhammad yang patut kita cintai dan kita teladani. Karena hanya mencintai dengan perasaan saja tidak cukup, melainkan harus dengan bukti nyata dari perkataan atau perbuatan.
  Berikut beberapa Sunnah Nabi Muhammad yang beliau wasiatkan kepada kita:
Menikah, Memanah, Berenang, Berkuda, Bersholawat (dengan cara dan tuntunan yang benar), Menjadi mukmin yang kuat iman dan fisik, Bersiwak, Mencintai sahabat-sahabat Rasulullah.
  Agar kita termasuk golongan Nabi Muhammad, maka kita harus mencintai dan mengamalkan sunnah-sunnah beliau. Karena Allah juga berfirman agar mentaati Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah membimbing kita semua agar dapat mencintai dan mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah dengan tulus, ikhlash, dan hanya mengharapkan ridho Allah semata. Serta meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. (Abdullah)

Menyoal Kontradiksi: Antara Cinta dan Benci

     Adnin Armas, seorang cendikiawan Muslim, menuliskan dalam karyanya, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal, rekam catatan dialognya dengan orang-orang yang mengaku dirinya “Islam Liberal”. Dialog tersebut memang tidak terjadi di dunia nyata, hanya sekedar di dunia maya melalui media mailing list. Sebagai seorang cendikiawan Muslim tentu saja Armas menemui orang-orang yang membawa ide-ide sekulerisme, liberalisme, anti-syariat Islam, dan kerancuan pemikiran lainnya oleh orang-orang liberal dalam dialog tersebut. Liberalisme memang sudah lama menjadi duri dalam daging umat Islam sejak dalam rahim pemikiran (I'tiqod) sampai tataran praktis masyarakat.
     Dalam sebuah tanggapan seorang liberal, menanggapi sebuah tema tentang kerancuan pemikiran, seorang liberal tersebut terang mengucapkan baris-baris kalimat begini: “Maaf, untuk sekarang ini saya lebih percaya dengan buku-bukusemacam itu [buku-buku orientalis]. Sudah bosan baca buku yang “biasa-biasa” saja. Tidak ada. Sejak kecil juga sudah tahu kalau shalat jum'at dua rak'aat, shalat harus menghadap kiblat, Tuhan satu, nabi itu orang Arab, rukun Islam ada lima, berbohong masuk neraka, puasa wajib, mau shalat wudhu dulu, tayammum tidak boleh diganti dengan air kelapa..., perempuan tidak boleh menjadi imam….” (dalam Adnin Armas, 2003: 37).      Bosan merupakan istilah yang dipakai liberal itu. Mungkin untuk menggantikan kata “tidak tertarik lagi” dengan ajaran-ajaran yang dinyatakannya sudah “biasa-biasa” saja dan dirasanya tidak ada kemajuan. Ini merupakan pernyataan terselubung, kalau dengan kata lain, si liberal hampir—atau memang sengaja telah—melepaskan ikatan kecintaannya dengan ajaran-ajaran yang disebutnya tadi. Padahal ajaran-ajaran yang disebutnya telah diketahuinya sedari kecil tersebut merupakan beberapa ajaran yang ada di dalam Islam yang baku dan berada dalam konsensus Umat Islam dalam melaksanakan amalan Islam.
     Si liberal memang sedang mencintai ajaran-ajaran yang dibawa oleh para orientalis tentang Islam yang kebanyakan para orientalis tersebut beragama Kristen atau atheis dan juga para pendahulu liberalnya. Sehingga dia bosan dengan buku yang biasa-biasa saja yang hanya berisi tentang ajaran-ajaran yang sudah diketahuinya sejak kecil. Menjadi liberal memang dituntut berdiri pada satu pihak, seingga ia harus melepaskan ikatan dari pihak yang tidak liberal. Seakan liberalisme menuntut si liberal untuk membosani apa-apa yang pernah ia dapatkan tentang Islam sedari kecil dan beranjak menyenangi apa-apa yang nampak canggih dari orientalis.
     Atau apalah yang ada di dunia ini, yang menghendaki manusia bisa berdiri di dua sisi yang berlawanan dan bertentangan? Meski masih mengaku diri sebagai Islam, si liberal nyatanya tetap melenggang dengan ke-liberal-annya dan bercuap sekehendak hatinya menebarkan ajaran-ajaran Islam yang “sudah membosankan” di tengah masyarakat. Pengakuan memang membutuhkan pembuktian. Itu juga menjelaskan kepada kita bahwa sebuah pernyataan kecintaan menghendaki adanya rasa benci terhadap apa yang tidak dicintainya. Dalam bahasa Ibnul Qoyyim—rahimahullah, yang dikutip oleh Muhammad Said al-Qahthani, bahwa “perwalian tidak akan sah kecuali dengan permusuhan.” (dalam Muhammad Sa'id al-Qahthani, 2000 (terj.): 155). Bukankah ini mengingatkan kepada kita tentang kisah sang Abu 'Anbiyya, Nabi Ibrahim alayhissalam. Dalam serangkai kisah tentang Nabi Ibrahim tersebut, firman Allah dalam surat Maryam ayat 43-44, merekam perkataan Nabi Ibrahim kepada bapaknya, “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.”
     Setelah Ibrahim dalam ayat tersebut mengatakan, “telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan…, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus,” maka Ibrahim melanjutkan, “janganlah kamu menyembah syaitan.” Ibrahim telah menerima sebahagian ilmu pengetahuan, maka dengannya diserulah ayah dan kaumnya agar mengikuti Ibrahim atas ilmu pengetahuan tersebut karena itulah yang akan menunjukkan kepada jalan yang lurus. Kemudian, kontradiksi atas semua itu menunjukkan perkataan negasi persuasif Ibrahim bahwa, semua ilmu yang menuju jalan yang lurus itu hendaknya tidak dan jangan diikuti dengan penyembahan kepada syaitan. 
     Ibrahim telah menunjukkan asa kecintaan yang mendalam setelah datangnya ilmu pengetahuan yang menuntun pada jalan yang lurus, sehingga kebencian yang ditunjukkan melalui kata larangan, “janganlah” terhadap yang bertentangan dengan jalan yang lurus merupakan konsekuensi yang diterima setelah mengikuti jalan Ibrahim (millatul Ibrahim). Cinta, nyatanya memiliki konsekuensi, yaitu membenci terhadap apa saja yang dibenci oleh yang dicintainya, begitu pula sebaliknya. Cinta takkan ada tanpa ada kesejatian membenci dari konsekuensi kecintaan terhadap sesuatu. Demikianlah, kecintaan terhadap Islam ini menuntut konsistensi dan larangan berbalik ke belakang terhadap kekufuran masa lalu atau seluruh kekufuran yang tak pernah dilalui sebelumnya. Wallahu'alam. [Ib'nu el-Hadj Syoe'aib']

Manusia Yang Tidak Cinta Sahabat Nabi

  Ketika saudara berkeliling kota Jogja, akhir-akhir ini banyak ditemui spanduk yang bertuliskan “Syi'ah bukan Islam”. Spanduk tersebut memang sengaja dipasang oleh persatuan dari berbagai organisasi Islam yang ada di kota Jogja dan sekitarnya.
  Apa itu Syi'ah? Kata Syi'ah secara bahasa berarti pengikut, yang dimaksud pengikut yang dipahami oleh kaum Syi'ah adalah bahwa mereka mengaku sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu'anhu. Menurut kaum Syi'ah, yang pantas dijadikan pemimpin untuk ummat Islam adalah Imam Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya dari jalur Husein bin Ali bin Abi Thalib hingga imam yang ke-12 yaitu Imam Mahdi yang menurutnya masih ghaib.
  Bagaimana aqidah Syi'ah? Aqidah Syi'ah sangatlah berbeda dari aqidah Islam pada umumnya. Apabila kita sebagai muslim meyakini bahwa syirik merupakan perbuatan ketika mempersekutukan Allah dengan sesuatu, maka dalam Syi'ah tidaklah demikian. Mengakui adanya Imam/Pemimpin ummat Islam selain Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebagaimana kita mengakui bahwa Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan sebagai Khalifah/pemimpin ummat Islam, hal tersebut menurut Syi'ah adalah syirik. Rukun Iman dan Rukun Islam dalam Syi'ah sangatlah berbeda dengan Rukun Iman/Islam pada umumnya. Syahadat, sholat, lafadz adzan dan cara wudhu dalam Syi'ah juga sangat berbeda dengan umumnya. Dalam Syi'ah ibadah haji tidak termasuk dalam bagian dari rukun Islam karena kaum Syi'ah mempunyai kota suci tersendiri yaitu Karbala dan Qum yang menurutnya lebih suci daripada Makkah dan Madinah.
  Mengapa Syi'ah bukan bagian dari Islam? Pada awal mulanya Syi'ah didirikan oleh Abdullah bin Saba seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam. Abdullah bin Saba mendakwahkan kepada kaumnya bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan titisan Tuhan. Doktrin ini berkembang pesat di negeri Persia yang menganut agama majusi, karena itulah kaum Syi'ah terlalu mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Kaum majusi di negeri Persia yang terpaksa masuk Islam karena takluk dibawah kekhalifahan Umar bin Khattab terus melampiaskan dendam dan kemarahannya kepada ummat Islam hingga sekarang melalui ajaran Syi'ah. Oleh karena itulah yang menyebabkan bahwa Syi'ah bukan bagian dari Islam karena ajaran Islam, aqidah Yahudi, dan aqidah Majusi bercampur jadi satu dalam ajaran Syi'ah. Syi'ah muncul karena dendam orang Persia kepada Islam. Selain itu Syi'ah sengaja diciptakan untuk menyelisihi ummat Islam pada umumnya karena rukun Islam, rukun Iman, Syahadat, cara sholat, cara berwudhu, lafadz adzan dalam ajaran Syi'ah sangat berbeda. Oleh karena itulah Syi'ah bukan merupakan bagian dari Islam. Selain itu juga menurut Syi'ah bahwa Al-Qur'an yang asli sangatlah tebal terdiri dari 17.000 ayat. Al-Qur'an yang biasa kita pakai hanya terdiri dari 6.236 ayat menurut Syi'ah merupakan Al-Qur'an yang sudah dipalsukan, dikurangi, dan diubah oleh para shahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhum.
Muhammad Hafidh Putranto, S.Pd.I