Adnin Armas, seorang cendikiawan Muslim, menuliskan dalam karyanya, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal, rekam catatan dialognya dengan orang-orang yang mengaku dirinya “Islam Liberal”. Dialog tersebut memang tidak terjadi di dunia nyata, hanya sekedar di dunia maya melalui media mailing list. Sebagai seorang cendikiawan Muslim tentu saja Armas menemui orang-orang yang membawa ide-ide sekulerisme, liberalisme, anti-syariat Islam, dan kerancuan pemikiran lainnya oleh orang-orang liberal dalam dialog tersebut. Liberalisme memang sudah lama menjadi duri dalam daging umat Islam sejak dalam rahim pemikiran (I'tiqod) sampai tataran praktis masyarakat.
Dalam sebuah tanggapan seorang liberal, menanggapi sebuah tema tentang kerancuan pemikiran, seorang liberal tersebut terang mengucapkan baris-baris kalimat begini: “Maaf, untuk sekarang ini saya lebih percaya dengan buku-bukusemacam itu [buku-buku orientalis]. Sudah bosan baca buku yang “biasa-biasa” saja. Tidak ada. Sejak kecil juga sudah tahu kalau shalat jum'at dua rak'aat, shalat harus menghadap kiblat, Tuhan satu, nabi itu orang Arab, rukun Islam ada lima, berbohong masuk neraka, puasa wajib, mau shalat wudhu dulu, tayammum tidak boleh diganti dengan air kelapa..., perempuan tidak boleh menjadi imam….” (dalam Adnin Armas, 2003: 37). Bosan merupakan istilah yang dipakai liberal itu. Mungkin untuk menggantikan kata “tidak tertarik lagi” dengan ajaran-ajaran yang dinyatakannya sudah “biasa-biasa” saja dan dirasanya tidak ada kemajuan. Ini merupakan pernyataan terselubung, kalau dengan kata lain, si liberal hampir—atau memang sengaja telah—melepaskan ikatan kecintaannya dengan ajaran-ajaran yang disebutnya tadi. Padahal ajaran-ajaran yang disebutnya telah diketahuinya sedari kecil tersebut merupakan beberapa ajaran yang ada di dalam Islam yang baku dan berada dalam konsensus Umat Islam dalam melaksanakan amalan Islam.
Si liberal memang sedang mencintai ajaran-ajaran yang dibawa oleh para orientalis tentang Islam yang kebanyakan para orientalis tersebut beragama Kristen atau atheis dan juga para pendahulu liberalnya. Sehingga dia bosan dengan buku yang biasa-biasa saja yang hanya berisi tentang ajaran-ajaran yang sudah diketahuinya sejak kecil. Menjadi liberal memang dituntut berdiri pada satu pihak, seingga ia harus melepaskan ikatan dari pihak yang tidak liberal. Seakan liberalisme menuntut si liberal untuk membosani apa-apa yang pernah ia dapatkan tentang Islam sedari kecil dan beranjak menyenangi apa-apa yang nampak canggih dari orientalis.
Atau apalah yang ada di dunia ini, yang menghendaki manusia bisa berdiri di dua sisi yang berlawanan dan bertentangan? Meski masih mengaku diri sebagai Islam, si liberal nyatanya tetap melenggang dengan ke-liberal-annya dan bercuap sekehendak hatinya menebarkan ajaran-ajaran Islam yang “sudah membosankan” di tengah masyarakat. Pengakuan memang membutuhkan pembuktian. Itu juga menjelaskan kepada kita bahwa sebuah pernyataan kecintaan menghendaki adanya rasa benci terhadap apa yang tidak dicintainya. Dalam bahasa Ibnul Qoyyim—rahimahullah, yang dikutip oleh Muhammad Said al-Qahthani, bahwa “perwalian tidak akan sah kecuali dengan permusuhan.” (dalam Muhammad Sa'id al-Qahthani, 2000 (terj.): 155). Bukankah ini mengingatkan kepada kita tentang kisah sang Abu 'Anbiyya, Nabi Ibrahim alayhissalam. Dalam serangkai kisah tentang Nabi Ibrahim tersebut, firman Allah dalam surat Maryam ayat 43-44, merekam perkataan Nabi Ibrahim kepada bapaknya, “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.”
Setelah Ibrahim dalam ayat tersebut mengatakan, “telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan…, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus,” maka Ibrahim melanjutkan, “janganlah kamu menyembah syaitan.” Ibrahim telah menerima sebahagian ilmu pengetahuan, maka dengannya diserulah ayah dan kaumnya agar mengikuti Ibrahim atas ilmu pengetahuan tersebut karena itulah yang akan menunjukkan kepada jalan yang lurus. Kemudian, kontradiksi atas semua itu menunjukkan perkataan negasi persuasif Ibrahim bahwa, semua ilmu yang menuju jalan yang lurus itu hendaknya tidak dan jangan diikuti dengan penyembahan kepada syaitan.
Ibrahim telah menunjukkan asa kecintaan yang mendalam setelah datangnya ilmu pengetahuan yang menuntun pada jalan yang lurus, sehingga kebencian yang ditunjukkan melalui kata larangan, “janganlah” terhadap yang bertentangan dengan jalan yang lurus merupakan konsekuensi yang diterima setelah mengikuti jalan Ibrahim (millatul Ibrahim). Cinta, nyatanya memiliki konsekuensi, yaitu membenci terhadap apa saja yang dibenci oleh yang dicintainya, begitu pula sebaliknya. Cinta takkan ada tanpa ada kesejatian membenci dari konsekuensi kecintaan terhadap sesuatu. Demikianlah, kecintaan terhadap Islam ini menuntut konsistensi dan larangan berbalik ke belakang terhadap kekufuran masa lalu atau seluruh kekufuran yang tak pernah dilalui sebelumnya. Wallahu'alam. [Ib'nu el-Hadj Syoe'aib']
0 komentar:
Posting Komentar