Bendoro Raden Mas Mustahar sewaktu kecil mungkin tidak pernah menyangka dirinya akan berkedudukan sebagai seorang pahlawan Islam di Tanah Jawa. Bahkan ketika usianya matang, Den Mas Mustahar ini kemahsyurannya melampaui sang buyut yang memboyong tahta Mataram pada pundak Dinasti Mangkubumi. Lahir di zaman ketika kolonialisme sedang mengadakan kompromi dengan oknum-oknum keraton yang telah tergadai loyalitasnya, membuat Den Mas Mustahar melihat kenyataan pahit bahwa tahta dan agama Islam di Jawa sedang dikhianati oleh orang-orang Jawa sendiri.
Tumbuhlah jiwa ulama pejuang kharismatik dalam diri Den Mas Mustahar yang bersiap mengadakan perubahan. Di tahun 1825, Den Mas Mustahar yang pada tahun itu sudah berusia 40 tahun, tak mengenal apa yang disebut sebagai Revolusi. Namun cukuplah keteguhan dan konsekuensi yang berat akibat melawan Belanda menempatkan dirinya sebagai sosok Pejuang Tanah Jawa. Toh Den Mas Mustahar dewasa bahkan menanggalkan gelar kebangsawanannya yang mahsyur disebut Kanjeng Pangeran Diponegoro itu. Ia memilih sebuah gelar sultan bagi dirinya sendiri dengan sebaris nama Islam yang terdengar aksen Jawanya: Sultan Ngabdulkamit Erucakra Sayidin Panata lan Paneteg Agami ing Tanah Jawa (Sultan Abdul Hamid yang Menata dan Mengukuhkan Agama di Tanah Jawa).
Naif dan begitu bebal bagi kita sendiri ketika hari ini kita masih saja mengatakan Sang Pangeran yang berjubah dan bersorban ini meninggalkan gelar kebangsawanannya, berjuang semata-mata demi urusan duniawi, yakni sebidang tanah yang direbut oleh Penjajah Kolonial Belanda. Lima tahun perlawanannya (1825-1830) melawan Kapir Belanda bukanlah hal yang sia-sia. “Siapa yang tak tergerak oleh saat-saat yang teramat pedih ini?,” begitu Kata Peter Carey, yang menggambarkan mula-mula perang Sang Pangeran dan berakhir dengan gugurnya sekitar 200.000 syuhada Jawa. Sejarawan menyebut perang Sang Pangeran melawan Belanda sebagai Java Oorlog, salah sebuah perang terpenting antara Kaum Muslimin melawan hegemoni kekufuran dan kezaliman penguasa di Tanah Jawa.
Perang yang dilakukan Sang Pangeran beserta ratusan ribu orang-orang Jawa tersebut mula-mula berawal pada sebuah proses pra-perjuangan plus kondisi kekacauan yang panjang. Agaknya tak mengherankan apabila kita menyebut kondisi yang begitu meruah dengan kezaliman dan kelacuran juga terjadi di masa-masa zaman kerajaan di Tanah Jawa ini. Peter Carey mengutip seorang ahli hukum Belanda, Willem van Hogendrop yang menyarik gambaran Keraton (Yogyakarta) bersama perasaan ambisi Sang Pangeran:
Semua orang Jawa tahu akan hal ini: betapa Belanda membiarkan Keraton [Yogya] berubah menjadi rumah pelacuran dan bagaimana Diponegoro telah bersumpah untuk menghancurkannya sampai ke batu terakhir dan mengusir para tuan tanah [Eropa] yang telah mendongkel para pejabat Jawa (Carey, 2008)
Perjuangan Sang Pangeran adalah fakta tak terbantahkan yang menggambarkan keteguhan seorang Jawa menggenggam keIslaman. Hendaknya Bangsa Jawa mengingat dan menghayati kembali arti perjuangan seorang Islam sekaligus seorang Jawa yang begitu heroik ini. Karena dakwah dan perjuangan Islam adalah kemuliaan bagi sebuah bangsa. Sang Pangeran diingat bangsanya sebagai pahlawan karena perjuangannya. Meski ia mati di pengasingan, Pangeran yang mengutamakan keteguhan Islam ini telah berusaha mengangkat Jawa dengan mulia karena perjuangannya. Siapa saja yang beramal untuk kemuliaan Islam niscaya ia mulia. Seorang Jawa yang mengingat jejak juang Sang Pangeran tak pernah malu kekalahan perangnya terhadap Belanda. Ia seharusnya malu kalau tunduk di depan kezaliman dan mengabaikan amal untuk Islam.
Inilah sejarah yang mengajarkan keteladanan dan setiap jengkal perjuangan para pahlawannya, mengukir jejak pengorbanan dan menggambarkan dengan setiap tetes darah keharuan. Tak lupa menyadarkan kita bahwa setiap sejarah Islam di tanah ini merupakan riwayat perjuangan dakwah para ulama dan pengorbanan para mujahid laiknya Sang Pangeran yang dikenal kita sebagai Kanjeng Pangeran Diponegoro itu. Asa Islam adalah perjuangan dan mengukuhkan Islam, dan begitulah Sang Kanjeng Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan Jawa yang memilih melawan kezaliman dan kelacuran yang menjangkiti bangsanya. Wallahu'alam. [] (Ibnu el-Hadj' Syoe'aib')
0 komentar:
Posting Komentar