Minggu, 07 Juni 2015

Mencintai Sunnah Nabi

Rasulullah shollallaahu 'alayhi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, dia bukanlah termasuk golonganku.” (HR. Bukhori dan Muslim).
  Demikian ancaman Rasulullah kepada ummatnya. Saudaraku, sunnah disini bukanlah seperti hukum fikih yang merupakan lawan dari Makruh. Akan tetapi, yang dimaksud Sunnah Nabi Muhammad adalah segala sesuatu yang bersumber dari beliau, baik itu ucapan, perbuatan, atau ketetapan beliau.

  Banyak sekali sunnah-sunnah Nabi Muhammad yang patut kita cintai dan kita teladani. Karena hanya mencintai dengan perasaan saja tidak cukup, melainkan harus dengan bukti nyata dari perkataan atau perbuatan.
  Berikut beberapa Sunnah Nabi Muhammad yang beliau wasiatkan kepada kita:
Menikah, Memanah, Berenang, Berkuda, Bersholawat (dengan cara dan tuntunan yang benar), Menjadi mukmin yang kuat iman dan fisik, Bersiwak, Mencintai sahabat-sahabat Rasulullah.
  Agar kita termasuk golongan Nabi Muhammad, maka kita harus mencintai dan mengamalkan sunnah-sunnah beliau. Karena Allah juga berfirman agar mentaati Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah membimbing kita semua agar dapat mencintai dan mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah dengan tulus, ikhlash, dan hanya mengharapkan ridho Allah semata. Serta meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. (Abdullah)

Menyoal Kontradiksi: Antara Cinta dan Benci

     Adnin Armas, seorang cendikiawan Muslim, menuliskan dalam karyanya, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal, rekam catatan dialognya dengan orang-orang yang mengaku dirinya “Islam Liberal”. Dialog tersebut memang tidak terjadi di dunia nyata, hanya sekedar di dunia maya melalui media mailing list. Sebagai seorang cendikiawan Muslim tentu saja Armas menemui orang-orang yang membawa ide-ide sekulerisme, liberalisme, anti-syariat Islam, dan kerancuan pemikiran lainnya oleh orang-orang liberal dalam dialog tersebut. Liberalisme memang sudah lama menjadi duri dalam daging umat Islam sejak dalam rahim pemikiran (I'tiqod) sampai tataran praktis masyarakat.
     Dalam sebuah tanggapan seorang liberal, menanggapi sebuah tema tentang kerancuan pemikiran, seorang liberal tersebut terang mengucapkan baris-baris kalimat begini: “Maaf, untuk sekarang ini saya lebih percaya dengan buku-bukusemacam itu [buku-buku orientalis]. Sudah bosan baca buku yang “biasa-biasa” saja. Tidak ada. Sejak kecil juga sudah tahu kalau shalat jum'at dua rak'aat, shalat harus menghadap kiblat, Tuhan satu, nabi itu orang Arab, rukun Islam ada lima, berbohong masuk neraka, puasa wajib, mau shalat wudhu dulu, tayammum tidak boleh diganti dengan air kelapa..., perempuan tidak boleh menjadi imam….” (dalam Adnin Armas, 2003: 37).      Bosan merupakan istilah yang dipakai liberal itu. Mungkin untuk menggantikan kata “tidak tertarik lagi” dengan ajaran-ajaran yang dinyatakannya sudah “biasa-biasa” saja dan dirasanya tidak ada kemajuan. Ini merupakan pernyataan terselubung, kalau dengan kata lain, si liberal hampir—atau memang sengaja telah—melepaskan ikatan kecintaannya dengan ajaran-ajaran yang disebutnya tadi. Padahal ajaran-ajaran yang disebutnya telah diketahuinya sedari kecil tersebut merupakan beberapa ajaran yang ada di dalam Islam yang baku dan berada dalam konsensus Umat Islam dalam melaksanakan amalan Islam.
     Si liberal memang sedang mencintai ajaran-ajaran yang dibawa oleh para orientalis tentang Islam yang kebanyakan para orientalis tersebut beragama Kristen atau atheis dan juga para pendahulu liberalnya. Sehingga dia bosan dengan buku yang biasa-biasa saja yang hanya berisi tentang ajaran-ajaran yang sudah diketahuinya sejak kecil. Menjadi liberal memang dituntut berdiri pada satu pihak, seingga ia harus melepaskan ikatan dari pihak yang tidak liberal. Seakan liberalisme menuntut si liberal untuk membosani apa-apa yang pernah ia dapatkan tentang Islam sedari kecil dan beranjak menyenangi apa-apa yang nampak canggih dari orientalis.
     Atau apalah yang ada di dunia ini, yang menghendaki manusia bisa berdiri di dua sisi yang berlawanan dan bertentangan? Meski masih mengaku diri sebagai Islam, si liberal nyatanya tetap melenggang dengan ke-liberal-annya dan bercuap sekehendak hatinya menebarkan ajaran-ajaran Islam yang “sudah membosankan” di tengah masyarakat. Pengakuan memang membutuhkan pembuktian. Itu juga menjelaskan kepada kita bahwa sebuah pernyataan kecintaan menghendaki adanya rasa benci terhadap apa yang tidak dicintainya. Dalam bahasa Ibnul Qoyyim—rahimahullah, yang dikutip oleh Muhammad Said al-Qahthani, bahwa “perwalian tidak akan sah kecuali dengan permusuhan.” (dalam Muhammad Sa'id al-Qahthani, 2000 (terj.): 155). Bukankah ini mengingatkan kepada kita tentang kisah sang Abu 'Anbiyya, Nabi Ibrahim alayhissalam. Dalam serangkai kisah tentang Nabi Ibrahim tersebut, firman Allah dalam surat Maryam ayat 43-44, merekam perkataan Nabi Ibrahim kepada bapaknya, “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.”
     Setelah Ibrahim dalam ayat tersebut mengatakan, “telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan…, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus,” maka Ibrahim melanjutkan, “janganlah kamu menyembah syaitan.” Ibrahim telah menerima sebahagian ilmu pengetahuan, maka dengannya diserulah ayah dan kaumnya agar mengikuti Ibrahim atas ilmu pengetahuan tersebut karena itulah yang akan menunjukkan kepada jalan yang lurus. Kemudian, kontradiksi atas semua itu menunjukkan perkataan negasi persuasif Ibrahim bahwa, semua ilmu yang menuju jalan yang lurus itu hendaknya tidak dan jangan diikuti dengan penyembahan kepada syaitan. 
     Ibrahim telah menunjukkan asa kecintaan yang mendalam setelah datangnya ilmu pengetahuan yang menuntun pada jalan yang lurus, sehingga kebencian yang ditunjukkan melalui kata larangan, “janganlah” terhadap yang bertentangan dengan jalan yang lurus merupakan konsekuensi yang diterima setelah mengikuti jalan Ibrahim (millatul Ibrahim). Cinta, nyatanya memiliki konsekuensi, yaitu membenci terhadap apa saja yang dibenci oleh yang dicintainya, begitu pula sebaliknya. Cinta takkan ada tanpa ada kesejatian membenci dari konsekuensi kecintaan terhadap sesuatu. Demikianlah, kecintaan terhadap Islam ini menuntut konsistensi dan larangan berbalik ke belakang terhadap kekufuran masa lalu atau seluruh kekufuran yang tak pernah dilalui sebelumnya. Wallahu'alam. [Ib'nu el-Hadj Syoe'aib']

Manusia Yang Tidak Cinta Sahabat Nabi

  Ketika saudara berkeliling kota Jogja, akhir-akhir ini banyak ditemui spanduk yang bertuliskan “Syi'ah bukan Islam”. Spanduk tersebut memang sengaja dipasang oleh persatuan dari berbagai organisasi Islam yang ada di kota Jogja dan sekitarnya.
  Apa itu Syi'ah? Kata Syi'ah secara bahasa berarti pengikut, yang dimaksud pengikut yang dipahami oleh kaum Syi'ah adalah bahwa mereka mengaku sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu'anhu. Menurut kaum Syi'ah, yang pantas dijadikan pemimpin untuk ummat Islam adalah Imam Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya dari jalur Husein bin Ali bin Abi Thalib hingga imam yang ke-12 yaitu Imam Mahdi yang menurutnya masih ghaib.
  Bagaimana aqidah Syi'ah? Aqidah Syi'ah sangatlah berbeda dari aqidah Islam pada umumnya. Apabila kita sebagai muslim meyakini bahwa syirik merupakan perbuatan ketika mempersekutukan Allah dengan sesuatu, maka dalam Syi'ah tidaklah demikian. Mengakui adanya Imam/Pemimpin ummat Islam selain Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebagaimana kita mengakui bahwa Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan sebagai Khalifah/pemimpin ummat Islam, hal tersebut menurut Syi'ah adalah syirik. Rukun Iman dan Rukun Islam dalam Syi'ah sangatlah berbeda dengan Rukun Iman/Islam pada umumnya. Syahadat, sholat, lafadz adzan dan cara wudhu dalam Syi'ah juga sangat berbeda dengan umumnya. Dalam Syi'ah ibadah haji tidak termasuk dalam bagian dari rukun Islam karena kaum Syi'ah mempunyai kota suci tersendiri yaitu Karbala dan Qum yang menurutnya lebih suci daripada Makkah dan Madinah.
  Mengapa Syi'ah bukan bagian dari Islam? Pada awal mulanya Syi'ah didirikan oleh Abdullah bin Saba seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam. Abdullah bin Saba mendakwahkan kepada kaumnya bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan titisan Tuhan. Doktrin ini berkembang pesat di negeri Persia yang menganut agama majusi, karena itulah kaum Syi'ah terlalu mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Kaum majusi di negeri Persia yang terpaksa masuk Islam karena takluk dibawah kekhalifahan Umar bin Khattab terus melampiaskan dendam dan kemarahannya kepada ummat Islam hingga sekarang melalui ajaran Syi'ah. Oleh karena itulah yang menyebabkan bahwa Syi'ah bukan bagian dari Islam karena ajaran Islam, aqidah Yahudi, dan aqidah Majusi bercampur jadi satu dalam ajaran Syi'ah. Syi'ah muncul karena dendam orang Persia kepada Islam. Selain itu Syi'ah sengaja diciptakan untuk menyelisihi ummat Islam pada umumnya karena rukun Islam, rukun Iman, Syahadat, cara sholat, cara berwudhu, lafadz adzan dalam ajaran Syi'ah sangat berbeda. Oleh karena itulah Syi'ah bukan merupakan bagian dari Islam. Selain itu juga menurut Syi'ah bahwa Al-Qur'an yang asli sangatlah tebal terdiri dari 17.000 ayat. Al-Qur'an yang biasa kita pakai hanya terdiri dari 6.236 ayat menurut Syi'ah merupakan Al-Qur'an yang sudah dipalsukan, dikurangi, dan diubah oleh para shahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhum.
Muhammad Hafidh Putranto, S.Pd.I

Senin, 04 Mei 2015

Jejak Ilmu Ibnu Abbas

Dia adalah sepupu Rasulullah shollallaahu ‘alayhi wa sallam. Generasi salafush sholih menyebutnya Habrul Ummah, Ulama Ummat ini. Sedangkan Umar bin Khaththab secara khusus menjulukinya “Pemuda yang Sudah Tua”, karena kedewasaannya dalam berilmu telah melampaui usianya. Dialah Abdullah bin Abbas. Dialah simbol perjuangan pejuang pencari ilmu yang pertama dalam sejarah Islam. Bagaimana tidak, jika Rasulullah saja mendoakannya, “Ya Allah, ajarkanlah kepadanya ilmu agama dan tafsir.” Beliau mendoakannya sambil mengelus pundak Ibnu Abbas.
Setelah Rasulullah wafat, Ibnu Abbas-lah yang paling gigih mempelajari Islam dari para sahabat, terutama yang belum sempat ia pelajari dari Rasulullah. Sehingga hal ini mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan sebelum kelahiran kita menyimpan ruahnya ilmu, maka carilah dan pelajarilah. Tidaklah mengherankan apabila Ibnu Abbas akan segera mendengar seseorang yang tahu suatu hikmah atau sebuah hadits yang belum ia ketahui. 
Bahkan suatu hari ia mendengar salah seorang sahabat memiliki satu hadits. Ia pun mendatangi rumahnya. Sampai di rumah sahabat itu, ternyata ia sedang tidur siang. Ibnu Abbas terus menunggu sampai sahabat itu bangun dari tidurnya. Penantian Ibnu Abbas di depan rumah sahabat itu membuat tubuhnya dipenuhi debu yang diterbangkan angin. Ketika sahabat itu sudah bangun lalu keluar rumah dan mendapati Ibnu Abbas, lalu berkata, “Wahai sepupu Rasulullah, apa yang membuatmu datang ke rumahku? Andai saja kau utus orang memberitahuku, aku akan datang ke rumahmu.” Maka Ibnu Abbas berkata, “Tidak! Engkau yang lebih pantas didatangi. Aku ingin belajar hadits darimu.”
Begitulah pemuda ini, kisahnya menjelaskan kepada kita bahwa orang yang mengetahui sederajat lebih ilmu dari pada derajatmu adalah orang yang patut engkau tunggu dan muliakan. Maka bertanyalah banyak-banyak, sebagaimana Ibnu Abbas mengatakan ilmunya meruah karena, “dengan banyak bertanya dan tidak berhenti berfikir.” Lalu keduanya diselimuti oleh sikap tawadhu' dan akhlak yang mulia yang ditempa dengan ibadah dan amal sholeh. Inilah Abdullah bin Abbas, tauladan dari generasi sahabat dalam semangat menuntut ilmu. [Ib'nu el-Hadj' Syoe'aib']

Mengapa Allah menciptakan Lebah?

Lebah adalah salah satu jenis hewan yang namanya dicantumkan sebagai nama surat di dalam Al-Qur’an. Tentu saja, pasti ada hikmah yang bisa diambil oleh manusia berkaitan dengan pencantuman nama hewan ini sebagai salah satu nama surat di dalam Al-Qur’an oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Banyak orang yang belum memahami dan bertanya-tanya mengapa hewan kecil -yang suka menyengat jika diganggu- ini dimasukkan sebagai nama surat? Namun pertanyaan tersebut akan sirna dengan sendirinya dan akan segera memperoleh jawaban apabila membaca 2 ayat di dalam surat An-Nahl. 

Di ayat 68-69 surat An-Nahl, Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وَأَوۡحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ أَنِ ٱتَّخِذِي مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعۡرِشُونَ ٦٨ ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ فَٱسۡلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلٗاۚ يَخۡرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٞ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٞ لِّلنَّاسِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٦٩ 
Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia". Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. An-Nahl : 68 - 69)

Ayat di atas secara jelas menjelaskan tentang manfaat yang diperoleh dari lebah yaitu madu yang sekarang ini sudah populer bahwa madu dapat dijadikan obat. Subhaanallaah. Itulah satu kata yang terucap tentang salah satu kebesaran Allah ini. Dan bagi orang yang memikirkan tentang hal ini seharusnya sadar bahwa Allah Maha Besar. Allah yang berkuasa di langit dan di bumi. Dia yang menciptakan alam semesta, Dia pula yang memberikan rizqinya, Dia pula yang memeliharanya dengan segala aturan/syari’at yang dibuat-Nya. Maka sudah seharusnya manusia itu berfikir, merenung, dan menyatakan bahwa dirinya itu adalah hamba Allah yang harus tunduk dan patuh (Islam) kepada aturan/ syari’at Allah, bukan aturan selain-Nya. 
(dari berbagai sumber)

Asa Juang Islam di Tanah Jawa


Bendoro Raden Mas Mustahar sewaktu kecil mungkin tidak pernah menyangka dirinya akan berkedudukan sebagai seorang pahlawan Islam di Tanah Jawa. Bahkan ketika usianya matang, Den Mas Mustahar ini kemahsyurannya melampaui sang buyut yang memboyong tahta Mataram pada pundak Dinasti Mangkubumi. Lahir di zaman ketika kolonialisme sedang mengadakan kompromi dengan oknum-oknum keraton yang telah tergadai loyalitasnya, membuat Den Mas Mustahar melihat kenyataan pahit bahwa tahta dan agama Islam di Jawa sedang dikhianati oleh orang-orang Jawa sendiri. 
Tumbuhlah jiwa ulama pejuang kharismatik dalam diri Den Mas Mustahar yang bersiap mengadakan perubahan. Di tahun 1825, Den Mas Mustahar yang pada tahun itu sudah berusia 40 tahun, tak mengenal apa yang disebut sebagai Revolusi. Namun cukuplah keteguhan dan konsekuensi yang berat akibat melawan Belanda menempatkan dirinya sebagai sosok Pejuang Tanah Jawa. Toh Den Mas Mustahar dewasa bahkan menanggalkan gelar kebangsawanannya yang mahsyur disebut Kanjeng Pangeran Diponegoro itu. Ia memilih sebuah gelar sultan bagi dirinya sendiri dengan sebaris nama Islam yang terdengar aksen Jawanya: Sultan Ngabdulkamit Erucakra Sayidin Panata lan Paneteg Agami ing Tanah Jawa (Sultan Abdul Hamid yang Menata dan Mengukuhkan Agama di Tanah Jawa).
Naif dan begitu bebal bagi kita sendiri ketika hari ini kita masih saja mengatakan Sang Pangeran yang berjubah dan bersorban ini meninggalkan gelar kebangsawanannya, berjuang semata-mata demi urusan duniawi, yakni sebidang tanah yang direbut oleh Penjajah Kolonial Belanda. Lima tahun perlawanannya (1825-1830) melawan Kapir Belanda bukanlah hal yang sia-sia. “Siapa yang tak tergerak oleh saat-saat yang teramat pedih ini?,” begitu Kata Peter Carey, yang menggambarkan mula-mula perang Sang Pangeran dan berakhir dengan gugurnya sekitar 200.000 syuhada Jawa.  Sejarawan menyebut perang Sang Pangeran melawan Belanda sebagai Java Oorlog, salah sebuah perang terpenting antara Kaum Muslimin melawan hegemoni kekufuran dan kezaliman penguasa di Tanah Jawa.
Perang yang dilakukan Sang Pangeran beserta ratusan ribu orang-orang Jawa tersebut mula-mula berawal pada sebuah proses pra-perjuangan plus kondisi kekacauan yang panjang. Agaknya tak mengherankan apabila kita menyebut kondisi yang begitu meruah dengan kezaliman dan kelacuran juga terjadi di masa-masa zaman kerajaan di Tanah Jawa ini. Peter Carey mengutip seorang ahli hukum Belanda, Willem van Hogendrop yang menyarik gambaran Keraton (Yogyakarta) bersama perasaan ambisi Sang Pangeran:
Semua orang Jawa tahu akan hal ini: betapa Belanda membiarkan Keraton [Yogya] berubah menjadi rumah pelacuran dan bagaimana Diponegoro telah bersumpah untuk menghancurkannya sampai ke batu terakhir dan mengusir para tuan tanah [Eropa] yang telah mendongkel para pejabat Jawa (Carey, 2008)
Perjuangan Sang Pangeran adalah fakta tak terbantahkan yang menggambarkan keteguhan seorang Jawa menggenggam keIslaman. Hendaknya Bangsa Jawa mengingat dan menghayati kembali arti perjuangan seorang Islam sekaligus seorang Jawa yang begitu heroik ini. Karena dakwah dan perjuangan Islam adalah kemuliaan bagi sebuah bangsa. Sang Pangeran diingat bangsanya sebagai pahlawan karena perjuangannya. Meski ia mati di pengasingan, Pangeran yang mengutamakan keteguhan Islam ini telah berusaha mengangkat Jawa dengan mulia karena perjuangannya. Siapa saja yang beramal untuk kemuliaan Islam niscaya ia mulia. Seorang Jawa yang mengingat jejak juang Sang Pangeran tak pernah malu kekalahan perangnya terhadap Belanda. Ia seharusnya malu kalau tunduk di depan kezaliman dan mengabaikan amal untuk Islam.
Inilah sejarah yang mengajarkan keteladanan dan setiap jengkal perjuangan para pahlawannya, mengukir jejak pengorbanan dan menggambarkan dengan setiap tetes darah keharuan. Tak lupa menyadarkan kita bahwa setiap sejarah Islam di tanah ini merupakan riwayat perjuangan dakwah para ulama dan pengorbanan para mujahid laiknya Sang Pangeran yang dikenal kita sebagai Kanjeng Pangeran Diponegoro itu. Asa Islam adalah perjuangan dan mengukuhkan Islam, dan begitulah Sang Kanjeng Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan Jawa yang memilih melawan kezaliman dan kelacuran yang menjangkiti bangsanya. Wallahu'alam. [] (Ibnu el-Hadj' Syoe'aib')

Senin, 27 April 2015

Mengenal Manfaat Air Kelapa

· Air kelapa dapat memperbaiki sirkulasi darah dan dikenal mampu membersihkan saluran pencernaan.
· Air kelapa tidak hanya akan membuat sistem kekebalan tubuh Anda lebih baik, tetapi juga membantu tubuh melawan beberapa jenis penyebab penyakit.
· Jika Anda mengidap penyakit batu ginjal, biasakanlah minum air kelapa secara rutin. Kebiasaan minum air kelapa akan membantu memecah batu ginjal dan memudahkan keluar dari tubuh.
· Air kelapa juga dikenal sejak dahulu dapat menyembuhkan gangguan saluran kencing! Segelas air kelapa akan meredakan rasa sakit akibat susah kencing.
· Jika Anda masih merasa pusing karena mabuk, tak ada yang bisa memulihkannya dengan cepat selain mengkonsumsi air kelapa.
· Air kelapa yang rasanya lembut sangat kaya akan elektrolit dan potassium. Potassium dapat membantu tubuh mengatur tekanan darah dan fungsi organ jantung.
· Air kelapa dapat mempercepat naiknya trombosite bagi penderita DBD dan menurunkan demam (trombosit turun karena dipakai untuk mencegah pendarahan, karena demam tinggi mengakibatkan pengentalan darah dan pori pembuluh darah membesar)
Apalagi air kelapa hijau yang kulit dalamnya ke ungu-unguan, bisa menghilangkan racun. Keracunan makanan atau obat hilangkan dengan meminum air kelapa hijau. Insya Allah.
Usahakan meminum air kelapa tanpa es dan gula pasir.
Semoga bermanfaat!
Sumber: VCO_JOGJA