Muhammad Shalallahu'alayhi wassalam sedang duduk-duduk sendirian di Masjidil Haram tatkala Uthbah bin Rabi'ah menghampiri beliau, dan duduk di hadapan beliau, lalu berkata, “Wahai anak saudaraku (Muhammad), engkau termasuk golongan kami. Dari segi keluarga dan keturunan, aku juga tahu kedudukanmu. Engkau telah membawa satu urusan yang besar kepada kaummu, yang dengan urusan itu engkau memecah-belah persatuan mereka, membodoh-bodohkan harapan mereka, mencela sesembahan dan agama mereka dan mengingkari siapapun yang termasuk dalam golongan leluhur mereka. Sekarang dengarkanlah, aku akan menawarkan beberapa hal kepadamu dan engkau bisa memeriksanya, siapa tahu engkau mau menerima sebagian di antaranya.”
Rasulullah tetap tenang dan hanya berkata menanggapi tawaran yang hendak disampaiakan Utbah bin Rabi'ah itu, beliau bersabda, “Katakanlah wahai anak Abul Walid, biar kudengarkan.” Bukankah manusia akan marah mendengar bahwa dirinya dituduh memecah-belah persatuan Quraisy? Bukankah orang biasa tak sudi melayani orang yang telah menuduh dirinya membodoh-bodohkan harapan orang-orang Quraisy, mencela sesembahan-sesembahan mereka, dan mengingkari leluhur-leluhur mereka? Namun tidak bagi orang paling sabar di muka bumi ini. Namun tidak bagi manusia paling mulia yang bersikap begitu tenang ini, hingga berkatalah Utbah menawarkan beberapa hal padanya.
Utbah berkata,“Wahai anak saudaraku, jika engkau menginginkan harta kekayaan sebagai pengganti dari apa yang kau bawa ini, maka kami siap menghimpun harta kami untuk diserahkan kepadamu, sehingga engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika kamu menginginkan kedudukan, maka kami akan mengangkatmu sebagai pemimpin kami, dan kami tidak akan menyisakan bagi orang selain dirimu. Jika engkau menginginkan kerajaan, kami akan mengangkatmu sebagai raja kami.”
Barangkali ada yang berpendapat, jika Rasulullah mau menerima tawaran Utbah untuk menjadi seorang yang kaya, dalam dakwahnya Rasulullah akan lebih mudah membumikan Islam, toh beliau memiliki kekayaan yang siap digunakan untuk dihamburkan kepada kaum miskin agar mereka mau masuk Islam. Barangkali ada yang berpendapat, kalau beliau menerima tawaran Utbah untuk memiliki kedudukan, toh Rasulullah bisa menggunakannya sebagai modal politis yang besar karena dia memiliki kedudukan yang terhormat. Barangkalai ada yang berpendapat, kalau Rasulullah menerima tawaran menjadi raja di antara orang-orang Quraisy itu, toh Rasulullah akan memiliki kuasa yang besar untuk merubah keadaan.
Sayyid Quthb rahimahullah berkata, “Barangkali ada yang berpendapat, Muhammad Saw. adalah figur yang tepat untuk diberi tugas ini, dalam rangka membumikan aqidah tauhid yang diembannya, dan menjadikan manusia tunduk kepada Rabb yang Mahakuasa, setelah sekian lama ditundukkan pada kekuasaan manusia. Mengingat orang-orang Arab telah merespons baik terhadap dakwahnya, mereka telah memberi beliau kesempatan memimpin dan mengatur, dan sudah cukup banyak otoritas dalam genggamannya dan keagungan dalam singgasananya. Akan tetapi Allah—yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana—tidak mengarahkan Rasulullah untuk hal ini.
“Mengapa demikian?! Allah Sub'hana wata'ala tidak ingin membebani Rasul-Nya dan orang-orang beriman bersamanya. Membebaskan tanah Arab dari cengkraman thaghut Romawi dan thaghut Persia, lalu menyerahkannya kepada thaghut bangsa Arab bukanlah solusi…. Dan bumi ini tidak akan bebas demi Allah, kecuali dikibarkan panji laa ilaaha ilallah.” (Sayyid Quthb (terj.), 2011: 54).
Begitulah Sayyid Quthb mengomentari peristiwa yang bisa jadi merupakan peluang besar bagi Rasulullah untuk membumikan tauhid. Memang tidaklah demikian, sekali-kali tidak! Karena apa artinya kekuasaan Islam bila tauhid dahulu yang tergadaikan? Karena apa arti tauhid bila ia tegak bukan atas kalimat laa illaha illallah?! Karena itulah wibawa dan kehormatan umat ini bisa berada.
Maka inilah suri tauladan dari manusia terbaik, manusia paling mulia, manusia paling sabar kepada kita semua. Sehingga dialah yang mengajarkan pada kita semua bahwa Islam dijunjung tegak atas dasar perjuangan dan semangat hijrah. Ialah yang diberi mandat menetapkan batas-batas kompromi dan tawar-menawar atas agama ini, Islam. Ialah guru terbaik yang juga mengajarkan pada murid-muridnya terbaik agar tetap berlaku sabar dan konsisten atas tauhid apabila telah digenggamnya. Ialah guru Mush'ab bin Umair, seorang parlente yang rela menerima kemarahan ibunya atas tauhid yang diembannya, yang rela memakai jubah usang dan bertambal-tambal akibat kesenangan yang ditinggalkan.
Ialah Rasulullah Shalallahu'alayhi wassalam, yang menguatkan ketegaran Sumayyah, Yasir, dan Billal ketika diberi tawaran antara siksa-kematian atau hidup—atas kalimat kesyirikan. Ialah yang memegang kemuliaan yang juga menginspirasi Salman al-Farisi atas kesederhanaannya, sehingga lihatlah rumah Salman yang ketika ia berdiri ia akan sampai ke atap, dan ketika ia berbaring, ia akan menyentuh dindingnya. Sehingga mereka dan gurunyalah yang paling mengenal wibawa umat ini. Wallahu'alam. [Ib'nu el-Hadj' Syoe'aib']