Senin, 04 Mei 2015

Jejak Ilmu Ibnu Abbas

Dia adalah sepupu Rasulullah shollallaahu ‘alayhi wa sallam. Generasi salafush sholih menyebutnya Habrul Ummah, Ulama Ummat ini. Sedangkan Umar bin Khaththab secara khusus menjulukinya “Pemuda yang Sudah Tua”, karena kedewasaannya dalam berilmu telah melampaui usianya. Dialah Abdullah bin Abbas. Dialah simbol perjuangan pejuang pencari ilmu yang pertama dalam sejarah Islam. Bagaimana tidak, jika Rasulullah saja mendoakannya, “Ya Allah, ajarkanlah kepadanya ilmu agama dan tafsir.” Beliau mendoakannya sambil mengelus pundak Ibnu Abbas.
Setelah Rasulullah wafat, Ibnu Abbas-lah yang paling gigih mempelajari Islam dari para sahabat, terutama yang belum sempat ia pelajari dari Rasulullah. Sehingga hal ini mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan sebelum kelahiran kita menyimpan ruahnya ilmu, maka carilah dan pelajarilah. Tidaklah mengherankan apabila Ibnu Abbas akan segera mendengar seseorang yang tahu suatu hikmah atau sebuah hadits yang belum ia ketahui. 
Bahkan suatu hari ia mendengar salah seorang sahabat memiliki satu hadits. Ia pun mendatangi rumahnya. Sampai di rumah sahabat itu, ternyata ia sedang tidur siang. Ibnu Abbas terus menunggu sampai sahabat itu bangun dari tidurnya. Penantian Ibnu Abbas di depan rumah sahabat itu membuat tubuhnya dipenuhi debu yang diterbangkan angin. Ketika sahabat itu sudah bangun lalu keluar rumah dan mendapati Ibnu Abbas, lalu berkata, “Wahai sepupu Rasulullah, apa yang membuatmu datang ke rumahku? Andai saja kau utus orang memberitahuku, aku akan datang ke rumahmu.” Maka Ibnu Abbas berkata, “Tidak! Engkau yang lebih pantas didatangi. Aku ingin belajar hadits darimu.”
Begitulah pemuda ini, kisahnya menjelaskan kepada kita bahwa orang yang mengetahui sederajat lebih ilmu dari pada derajatmu adalah orang yang patut engkau tunggu dan muliakan. Maka bertanyalah banyak-banyak, sebagaimana Ibnu Abbas mengatakan ilmunya meruah karena, “dengan banyak bertanya dan tidak berhenti berfikir.” Lalu keduanya diselimuti oleh sikap tawadhu' dan akhlak yang mulia yang ditempa dengan ibadah dan amal sholeh. Inilah Abdullah bin Abbas, tauladan dari generasi sahabat dalam semangat menuntut ilmu. [Ib'nu el-Hadj' Syoe'aib']

Mengapa Allah menciptakan Lebah?

Lebah adalah salah satu jenis hewan yang namanya dicantumkan sebagai nama surat di dalam Al-Qur’an. Tentu saja, pasti ada hikmah yang bisa diambil oleh manusia berkaitan dengan pencantuman nama hewan ini sebagai salah satu nama surat di dalam Al-Qur’an oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Banyak orang yang belum memahami dan bertanya-tanya mengapa hewan kecil -yang suka menyengat jika diganggu- ini dimasukkan sebagai nama surat? Namun pertanyaan tersebut akan sirna dengan sendirinya dan akan segera memperoleh jawaban apabila membaca 2 ayat di dalam surat An-Nahl. 

Di ayat 68-69 surat An-Nahl, Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وَأَوۡحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ أَنِ ٱتَّخِذِي مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعۡرِشُونَ ٦٨ ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ فَٱسۡلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلٗاۚ يَخۡرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٞ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٞ لِّلنَّاسِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٦٩ 
Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia". Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. An-Nahl : 68 - 69)

Ayat di atas secara jelas menjelaskan tentang manfaat yang diperoleh dari lebah yaitu madu yang sekarang ini sudah populer bahwa madu dapat dijadikan obat. Subhaanallaah. Itulah satu kata yang terucap tentang salah satu kebesaran Allah ini. Dan bagi orang yang memikirkan tentang hal ini seharusnya sadar bahwa Allah Maha Besar. Allah yang berkuasa di langit dan di bumi. Dia yang menciptakan alam semesta, Dia pula yang memberikan rizqinya, Dia pula yang memeliharanya dengan segala aturan/syari’at yang dibuat-Nya. Maka sudah seharusnya manusia itu berfikir, merenung, dan menyatakan bahwa dirinya itu adalah hamba Allah yang harus tunduk dan patuh (Islam) kepada aturan/ syari’at Allah, bukan aturan selain-Nya. 
(dari berbagai sumber)

Asa Juang Islam di Tanah Jawa


Bendoro Raden Mas Mustahar sewaktu kecil mungkin tidak pernah menyangka dirinya akan berkedudukan sebagai seorang pahlawan Islam di Tanah Jawa. Bahkan ketika usianya matang, Den Mas Mustahar ini kemahsyurannya melampaui sang buyut yang memboyong tahta Mataram pada pundak Dinasti Mangkubumi. Lahir di zaman ketika kolonialisme sedang mengadakan kompromi dengan oknum-oknum keraton yang telah tergadai loyalitasnya, membuat Den Mas Mustahar melihat kenyataan pahit bahwa tahta dan agama Islam di Jawa sedang dikhianati oleh orang-orang Jawa sendiri. 
Tumbuhlah jiwa ulama pejuang kharismatik dalam diri Den Mas Mustahar yang bersiap mengadakan perubahan. Di tahun 1825, Den Mas Mustahar yang pada tahun itu sudah berusia 40 tahun, tak mengenal apa yang disebut sebagai Revolusi. Namun cukuplah keteguhan dan konsekuensi yang berat akibat melawan Belanda menempatkan dirinya sebagai sosok Pejuang Tanah Jawa. Toh Den Mas Mustahar dewasa bahkan menanggalkan gelar kebangsawanannya yang mahsyur disebut Kanjeng Pangeran Diponegoro itu. Ia memilih sebuah gelar sultan bagi dirinya sendiri dengan sebaris nama Islam yang terdengar aksen Jawanya: Sultan Ngabdulkamit Erucakra Sayidin Panata lan Paneteg Agami ing Tanah Jawa (Sultan Abdul Hamid yang Menata dan Mengukuhkan Agama di Tanah Jawa).
Naif dan begitu bebal bagi kita sendiri ketika hari ini kita masih saja mengatakan Sang Pangeran yang berjubah dan bersorban ini meninggalkan gelar kebangsawanannya, berjuang semata-mata demi urusan duniawi, yakni sebidang tanah yang direbut oleh Penjajah Kolonial Belanda. Lima tahun perlawanannya (1825-1830) melawan Kapir Belanda bukanlah hal yang sia-sia. “Siapa yang tak tergerak oleh saat-saat yang teramat pedih ini?,” begitu Kata Peter Carey, yang menggambarkan mula-mula perang Sang Pangeran dan berakhir dengan gugurnya sekitar 200.000 syuhada Jawa.  Sejarawan menyebut perang Sang Pangeran melawan Belanda sebagai Java Oorlog, salah sebuah perang terpenting antara Kaum Muslimin melawan hegemoni kekufuran dan kezaliman penguasa di Tanah Jawa.
Perang yang dilakukan Sang Pangeran beserta ratusan ribu orang-orang Jawa tersebut mula-mula berawal pada sebuah proses pra-perjuangan plus kondisi kekacauan yang panjang. Agaknya tak mengherankan apabila kita menyebut kondisi yang begitu meruah dengan kezaliman dan kelacuran juga terjadi di masa-masa zaman kerajaan di Tanah Jawa ini. Peter Carey mengutip seorang ahli hukum Belanda, Willem van Hogendrop yang menyarik gambaran Keraton (Yogyakarta) bersama perasaan ambisi Sang Pangeran:
Semua orang Jawa tahu akan hal ini: betapa Belanda membiarkan Keraton [Yogya] berubah menjadi rumah pelacuran dan bagaimana Diponegoro telah bersumpah untuk menghancurkannya sampai ke batu terakhir dan mengusir para tuan tanah [Eropa] yang telah mendongkel para pejabat Jawa (Carey, 2008)
Perjuangan Sang Pangeran adalah fakta tak terbantahkan yang menggambarkan keteguhan seorang Jawa menggenggam keIslaman. Hendaknya Bangsa Jawa mengingat dan menghayati kembali arti perjuangan seorang Islam sekaligus seorang Jawa yang begitu heroik ini. Karena dakwah dan perjuangan Islam adalah kemuliaan bagi sebuah bangsa. Sang Pangeran diingat bangsanya sebagai pahlawan karena perjuangannya. Meski ia mati di pengasingan, Pangeran yang mengutamakan keteguhan Islam ini telah berusaha mengangkat Jawa dengan mulia karena perjuangannya. Siapa saja yang beramal untuk kemuliaan Islam niscaya ia mulia. Seorang Jawa yang mengingat jejak juang Sang Pangeran tak pernah malu kekalahan perangnya terhadap Belanda. Ia seharusnya malu kalau tunduk di depan kezaliman dan mengabaikan amal untuk Islam.
Inilah sejarah yang mengajarkan keteladanan dan setiap jengkal perjuangan para pahlawannya, mengukir jejak pengorbanan dan menggambarkan dengan setiap tetes darah keharuan. Tak lupa menyadarkan kita bahwa setiap sejarah Islam di tanah ini merupakan riwayat perjuangan dakwah para ulama dan pengorbanan para mujahid laiknya Sang Pangeran yang dikenal kita sebagai Kanjeng Pangeran Diponegoro itu. Asa Islam adalah perjuangan dan mengukuhkan Islam, dan begitulah Sang Kanjeng Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan Jawa yang memilih melawan kezaliman dan kelacuran yang menjangkiti bangsanya. Wallahu'alam. [] (Ibnu el-Hadj' Syoe'aib')